Urgensi Pengelolaan Kawasan Hutan Register di Lampung yang Berorientasi pada Masyarakat Adat - .
RajaBackLink.com

Urgensi Pengelolaan Kawasan Hutan Register di Lampung yang Berorientasi pada Masyarakat Adat

Lampung -- publiklampung.com -- Kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam meningkatkan ketahanan pangan perlu dipahami secara menyeluruh. Ketahanan pangan tidak hanya berkaitan dengan hasil panen, tetapi juga mencakup ketersediaan lahan sebagai salah satu faktor utama dalam menjamin keberlanjutan produksi pangan.

Situasi ini menjadi momentum bagi masyarakat untuk menyoroti pentingnya penyelesaian berbagai permasalahan pertanahan yang belum terselesaikan, termasuk konflik agraria serta status tanah adat yang sebelumnya diserahkan atau dialokasikan oleh para Tokoh Adat (Kepala Marga) kepada negara sebagai bagian dari Hutan Larangan atau Kawasan Hutan Register.

Selain itu, perlu ada kejelasan mengenai tanah adat yang hak pengelolaannya diberikan negara kepada perusahaan dalam bentuk konsesi, di mana dalam praktiknya, pengelolaan lahan tersebut sering kali tidak melibatkan masyarakat adat yang seharusnya memiliki hak atas tanah tersebut.

Salah satu bentuk potensi konflik agraria ini terjadi di kawasan Hutan Register yang dahulu dikenal sebagai Hutan Larangan di Lampung. Penyerahan tanah ini dilakukan melalui berbagai kelompok masyarakat adat (Marga-Staat) yang tersebar di wilayah Lampung.

Berdasarkan catatan Dr. J.W Van Royen (Controleur) dalam Indeeling Residentie Lampung tahun 1930, terdapat 62 marga di Lampung. Namun, tidak semua dari mereka menyediakan tanah untuk dijadikan Hutan Larangan atau Kawasan Hutan Register. Beberapa di antaranya adalah Marga Meninting Peminggir, Marga Teluk Peminggir, Marga Pubian (Federasi Pubian Telu Suku), Marga Pemanggilan Peminggir, Marga Abung (Federasi Abung Siwo Mego), Marga Rebang Semendo, Masyarakat/Marga Jelma Doya (Federasi Buay Lima Way Kanan), Marga/Masyarakat Melinting, dan Marga/Masyarakat Tulang Bawang (Federasi Mego Pak Tulang Bawang).

Sebelum era kemerdekaan, hukum adat memainkan peran penting dalam mengatur kehidupan masyarakat, termasuk dalam aspek kepemilikan dan pengelolaan tanah adat. Dalam konteks ini, tanah adat yang menjadi bagian dari Kawasan Hutan Register di Lampung pada awalnya disediakan oleh para penyimbang Marga atau tokoh adat dengan menyerahkannya kepada pemerintah Hindia Belanda untuk dijadikan Hutan Larangan, yang kemudian berubah status menjadi Kawasan Hutan Register.

Keberadaan Kawasan Hutan Register, khususnya Register 44 dan Register 46 di Negara Batin, Way Kanan, Provinsi Lampung, memiliki fakta hukum yang jelas. Pada tahun 1940, Tokoh Masyarakat Adat Marga Buay Pemuka Pangeran Ilir (BPPI) di Negara Batin menyerahkan sebagian tanah adat mereka kepada negara untuk dijadikan hutan lindung. Berdasarkan Keputusan Rapat Marga BPPI pada 8 Februari 1940, kawasan yang diserahkan mencakup Register 44 Sungai Muara Dua seluas 17.800 hektare dan Register 46 Way Hanakau seluas 21.000 hektare. Hal ini juga ditegaskan dalam Besluit Residen Lampung Nomor 249 tanggal 12 April 1940, yang mengesahkan tanah tersebut sebagai bagian dari Kawasan Hutan Register.

Sejak lama, Masyarakat Adat Marga BPPI Negara Batin telah berupaya mengembalikan hak mereka atas tanah ini. Pada tahun 2000, mereka bahkan mengajukan permohonan melalui Komisi A DPRD Kabupaten Way Kanan untuk menyurati Menteri Kehutanan dan Perkebunan mengenai pengembalian tanah ulayat mereka. Namun, hingga kini, upaya tersebut belum mendapatkan tindak lanjut yang konkret.

Di lapangan, Register 44 dan 46 kini diduga dikelola oleh beberapa perusahaan, di antaranya PT. Inhutani V, PT. Budi Lampung Sejahtera (PT. BLS), dan PT. Pemuka Sakti Manis Indah (PT. PSMI), sementara Masyarakat Adat Marga BPPI yang memiliki sejarah langsung dengan tanah tersebut tidak dilibatkan dalam pengelolaan.

Dengan adanya fakta ini, hak masyarakat adat Marga BPPI Negara Batin harus dipulihkan agar mereka dapat turut serta dalam mengelola tanah register tersebut bersama perusahaan pemegang konsesi. Negara harus berperan sebagai penengah untuk menghindari konflik agraria yang berlarut-larut. Jika negara terus berpihak hanya pada perusahaan pemegang konsesi tanpa mempertimbangkan hak masyarakat adat, maka hal ini akan menciptakan ketidakadilan serta menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, khususnya dari masyarakat adat di Lampung.

Jika pemerintah menganggap perusahaan pemegang konsesi sebagai pihak yang sah dalam pengelolaan kawasan hutan berdasarkan regulasi kehutanan, maka perlu ada jawaban yang jelas mengenai posisi Masyarakat Adat Marga BPPI Negara Batin yang telah lama kehilangan hak atas tanah yang sebenarnya mereka sediakan sejak awal untuk kepentingan negara.

Editor : Anisa Bela
Reporter : Helmi Ragil
Released © publiklampung.com
Share on Google Plus

About Publik Lampung

PT.Tricitra Media Coorporate provides one stop automated solution for your Technology. Depending on the size and field of your organization, we have different products and services to meet your requirements. We provide the optimum and customized solutions made for your organization.

0 comments:

Post a Comment