Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan mengenai ambang batas Pilkada. Akademisi dari Universitas Bandar Lampung (UBL), Rifandy Ritonga, menyatakan bahwa putusan ini merupakan bukti bahwa konstitusionalitas di Indonesia masih berjalan dengan baik.
Dalam wawancaranya dengan detikSumbagsel, Rifandy berpendapat bahwa keputusan MK di tengah polemik kotak kosong dalam Pilkada 2024 sudah tepat.
"Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas Pilkada, bagi saya dan banyak pihak, merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa melalui MK. Putusan ini muncul di tengah polemik soal partai-partai yang mendominasi melawan kotak kosong dalam Pilkada yang segera dimulai, ini menunjukkan bahwa upaya mempertahankan hak konstitusional memang benar-benar berjalan, dan MK telah mengesahkannya," katanya pada Rabu (21/8/2024).
"Keputusan MK ini jelas dan bisa langsung diterapkan (self-executing) serta dapat segera berjalan dalam agenda politik daerah tahun ini," lanjutnya.
Mengenai penolakan dari beberapa pihak terkait putusan tersebut, Rifandy menegaskan bahwa hal itu bisa dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.
"Jika ada pihak yang mencoba menafsirkan putusan MK tersebut dengan cara yang berbeda dan menjadikannya kebijakan negara yang tidak sesuai dengan keputusan MK, DPR dan Pemerintah dapat dikatakan melakukan pembangkangan terhadap konstitusi, yang berbahaya dalam konsep negara hukum," ujarnya.
Meski demikian, Rifandy memahami jika ada kelompok yang menolak putusan tersebut.
"Seperti yang saya sebutkan, setelah putusan MK ini, muncul isu penolakan dari pembentuk undang-undang (eksekutif dan legislatif), dan bagi saya, penolakan atau penundaan terhadap perintah yudisial dari MK bukanlah hal yang aneh. Namun, kita juga harus belajar menghormati keputusan lembaga yang menjadi penafsir tunggal konstitusi kita," kata Rifandy.
"Kita harus bersama-sama menjaga integritas lembaga negara perwakilan rakyat. Jangan sampai kita menyesal akibat dampak berbahaya dari penolakan terhadap keadilan yang telah diputuskan oleh peradilan konstitusi kita," tambahnya.
Menurut Rifandy, upaya penolakan terhadap keputusan ini bisa menyebabkan tertundanya keadilan atau bahkan penolakan terhadap keadilan itu sendiri.
"Ketidakpatuhan terhadap putusan MK sama artinya dengan menunda keadilan (justice delayed) atau bahkan menolak keadilan (justice denied) yang telah diputuskan oleh lembaga peradilan. Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Seperti yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU a quo, hal ini jelas mereduksi bahkan mendistorsi prinsip kedaulatan rakyat. Dalam prinsip kedaulatan rakyat, suara rakyat dalam kontestasi seperti Pemilu atau Pilkada harus dijaga kemurniannya dan tidak boleh banyak yang sia-sia (wasted votes) dan dikorbankan," tandasnya.
0 comments:
Post a Comment