Lampung – Publik Lampung-- Dalam waktu beberapa hari terakhir, kita cukup dihebohkan dengan berita bahwa KPU Kota Bandar Lampung yang telah menjadikan kera/beruk berpakaian adat Lampung sebagai maskot Pilwalkot Bandar Lampung 2024. Tak kurang Lembaga adat, ormas, tokoh, dan masyarakat adat Lampung memprotes bahkan mendesak kepokisian untuk menetapkan tersangka para komisioner KPU. Mereka merasa KPU Bandar Lampung telah melecehkan dan mencederai masyarakat Lampung, karena pakaian adat yang diagung-agungkan dikenakan kepada beruk yang memiliki personifikasi sifat-sifat buruk. Pakaian adat (Tapis dan kain tumpal) merupakan pakaian kebanggaan ulun Lampung yang dikenakan pada saat-saat penting atau prosesi adat,
KPU Kota Bandarlampung memang sudah membatalkan dan memohon maaf untuk penggunaan atribut adat Lampung pada maskot tersebut. Hal ini dipandang tidak sesuai dengan nilai dan kepantasan berpakaian adat Lampung.
"Orang Lampung mengangap monyet ith memiliki sifat jelek. Makanya, tak ada yang suka disamakan dengan mangoh (Bahasa Menggala), bisa marah," kata Anshori Djausal,
Menillik berita-berita tersebut, bagaimana sih sebenarnya cerita tentang beruk Lampung. Jadi teringat cerita beberapa waktu lalu ketika jalan-jalan ke Pesisir Barat, diperjalanan, kami dan bertemu hewan yang sudah sangat familiar sejak kecil. Hewan itu bernama "Beruk Lampung". Hewan ini dalam bahasa Lampung dikenal dengan sebutan “mangoh” (bahasa Menggala).
Izinkan saya kembali membagikan tulisan sekilas tentang "Beruk" untuk memberikan perspektif personifikasi dari si Mangoh.
Mengutip Wikipedia, beruk memilik nama latin Macaca nemestrina. Beruk merupakan hewan jenis makaka (Macaca sp.) yang tersebar di wilayah asia tenggara seperti Thailand bagian selatan, Malaysia, dan Indonesia. Di Lampung kita masih dapat dengan mudah menjumpai beruk di habitat liarnya, seperti di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Apabila kita menuju daerah kabupaten Pesisir Barat dan meluntasi kawasan TNBBS, kita akan menjumpai ratusan Beruk di pinggir jalan yang menunggu mobil yang lewat dan memberi makanan. Karenanya sebelum memasuki daerah Sedayu (TNBBS) jangan lupa anda siapkan beberapa sisir pisang untuk diberikan kepada beruk-beruk yang sudah menunggu.
Cerita tentang "Beruk" mamang cukup menarik buat saya. Masih teringat ketika kanak-kanak ada seorang tetangga di Gunung Sulah (Depan Pasar Koga) yang memelihara beruk. Teringat saat akan ke musholla untuk mengaji dan melintasinya, pasti beruk tersebut tersenyum mencibir atau meringis seperti mengejek kita. Beruk memang dapat membedakan yang lewat pria atau wanita. Hati-hati kalau ada "perempuan" yang lewat, beruk akan sangat agresif tidak segan ia seperti ingin mengejarnya. Beruk juga tidak jarang suka mengambil/mencuri jemuran , terutama pakaian perempuan, yang sedang dijemur. He he he teringat berbagai kelakuannya "Beruk"".
Beruk alias mangoh juga dikenal sebagai hewan yang sangat serakoh. Saat diberi makana (pisang misalny), beruk akan berebut dan tidak heran meski sudah dapat banyak, ia masih berebut untuk menambah. Kadang-kadang kita sampai melihat tangan kiri-kanannya penuh dengan pisang. Saat makan juga beruk terlihat sangat rakus.
Karena perilakunya yang memang kurang baik itu Tidak heran, ketika marah, orang Lampung sering menyebut "Dasar beruk kamu ya". Pesan moral yang disampaikan bahwa janganlah seperti "Beruk" yang meskipun sudah diberi makanan arau diperlakukan dengan baik masih ingin mengejar/mengganggu.
Bagi beberapa warga di Pesisir Barat, anak beruk diambil dari hutan dikejar untuk ditangkap dan kemudian dilatih untuk memanjat kelapa. Tentunya tidak mudah untuk melatih "Beruk", agar bisa mengerti perintah manusia. Bahkan Tidak jarang beruk harus diberikan kekerasan fisik agar dapat memahami perintah yang yang diberikan.
Diakhir tulisan ini saya ingin menyampaikan pesan buat kita semua, agar kita perlu lebih hati-hati. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Sudah sepantasnya kita jaga martabat warisan budaya ke-Lampung-an, bukan malah mencederainya. (Admi)
Foto: Beruk Lampung di TNBBS, Koleksi pribadi Prof. Admi Syarif, PhD
0 comments:
Post a Comment