Bandar Lampung -- publiklampung.com -- Pemerintah resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) sebagai lembaga pengelola investasi kekayaan negara atau sovereign wealth fund (SWF) Republik Indonesia. Lembaga ini diproyeksikan akan mengelola aset negara senilai 900 miliar dolar AS atau lebih dari Rp14 ribu triliun. Aset yang akan dikelola Danantara berasal dari berbagai sumber, termasuk dividen dari sejumlah perusahaan BUMN.
Saat ini, terdapat tujuh BUMN yang telah bergabung dalam Danantara, yaitu PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Nasional Indonesia Tbk (BBNI), PT Pertamina, PT PLN, Holding BUMN Pertambangan MIND ID, dan PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM).
Selain itu, dalam acara peluncuran BPI Danantara di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, pada Senin (24/2/2025), pemerintah mengumumkan bahwa dana efisiensi anggaran dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran juga akan dialokasikan ke Danantara. Efisiensi ini berasal dari berbagai kementerian dan lembaga dengan total sekitar Rp300 triliun atau hampir 20 miliar dolar AS.
Pada tahap awal, Presiden Prabowo menyatakan bahwa investasi Danantara akan difokuskan pada proyek strategis nasional (PSN), terutama di sektor industrialisasi dan hilirisasi. Sektor-sektor yang menjadi prioritas antara lain hilirisasi nikel, bauksit, dan tembaga, pembangunan pusat data dan kecerdasan buatan, kilang minyak, pabrik petrokimia, produksi pangan dan protein, akuakultur, serta energi terbarukan.
Pemerintah berharap Danantara dapat menjadi superholding BUMN produktif sekaligus penyedia dana untuk pembangunan. Presiden Prabowo optimistis bahwa keberadaan Danantara akan mendistribusikan kekayaan negara secara lebih merata kepada rakyat. Ia juga menekankan bahwa investasi Danantara diharapkan dapat menggerakkan perekonomian serta membuka lapangan pekerjaan.
Namun, di tengah harapan tersebut, muncul kekhawatiran mengenai potensi penyimpangan dalam pengelolaan dana yang sangat besar ini. Hingga kini, tata kelola BUMN masih diwarnai kasus korupsi, sehingga dikhawatirkan Danantara dapat mengalami nasib serupa dengan skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB), di mana SWF Malaysia disalahgunakan oleh elite penguasa.
Direktur Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana Prakasa, mengingatkan bahwa pengelolaan investasi negara tanpa transparansi dan akuntabilitas dapat membawa dampak buruk. Ia juga menyoroti adanya aturan yang memberi kekebalan hukum kepada pengelola Danantara, yang berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi.
“Sudah pasti bukan investasi yang kemudian datang atau dihasilkan, tetapi justru adalah keburukan dan kerugian negara,” tegas Satria.
Ia menambahkan bahwa skandal 1MDB yang melibatkan mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, merupakan contoh nyata bagaimana kurangnya transparansi dalam pengelolaan SWF dapat berujung pada korupsi besar-besaran. Satria juga mengkhawatirkan bahwa Danantara bisa mengalami nasib serupa, terutama karena unsur politisasi yang kuat dalam penunjukan pemangku jabatan di lembaga tersebut.
“Apalagi direksi pengawasnya Presiden ke-6 dan Presiden ke-7, lalu Dewan Penasehatnya adalah menteri-menteri terkait, dan ini sangat heavy politic bukan heavy economic,” ujarnya.
Menurut Satria, alih-alih menyerupai Temasek—SWF Singapura yang menjadi inspirasi utama pembentukan Danantara—badan ini justru lebih mirip dengan 1MDB. Ia menyoroti adanya celah impunitas dalam revisi UU BUMN yang baru saja disahkan, di mana pengelola Danantara tidak dapat dituntut secara hukum jika dapat membuktikan bahwa kerugian yang terjadi bukan akibat kesalahan atau kelalaian mereka.
Pakar antikorupsi internasional, Robert Klitgaard, menyebut bahwa kombinasi impunitas, monopoli, dan lemahnya akuntabilitas adalah formula yang ideal untuk terjadinya korupsi. Satria pun mengingatkan bahwa tanpa pengawasan ketat, potensi penyelewengan dalam pengelolaan Danantara sangat besar.
“Dan impact-nya ini sekali lagi terhadap ekonomi yakni krisis ekonomi yang berkepanjangan kalau terjadi. Tentu ide ini menurut saya banyak buruknya, satu. Yang kedua, kalaupun mau berjalan, seharusnya ada pengawasan superbody, melibatkan KPK hingga Kejaksaan,” ungkapnya.
Sementara itu, Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Yassar Aulia, mengkritik sulitnya akses terhadap dokumen revisi UU BUMN yang menjadi dasar hukum pembentukan Danantara.
“Setidaknya [saat kami cek] di sumber-sumber resmi seperti website DPR maupun Sekretariat Negara. Jadi menimbulkan tanya-tanya besar dan tentu mengindikasikan adanya kekeliruan prosedural dalam proses pembentukan undang-undang,” katanya.
Yassar juga memperingatkan bahwa klausul dalam revisi UU BUMN yang menghilangkan status kerugian Danantara sebagai kerugian negara dapat menghambat proses penegakan hukum terhadap kasus korupsi di masa depan.
“Kerugian dari Danantara maupun kerugian muncul dari BUMN nantinya bukan lagi sebagai kerugian keuangan negara [dalam draf revisi UU BUMN]. Ini berpotensi akan mempersulit kerja-kerja penegakan hukum dalam korupsi ke depan,” jelasnya.
Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko, menegaskan bahwa mekanisme pengawasan yang independen sangat penting dalam pengelolaan Danantara. Ia mencontohkan Temasek yang diawasi oleh parlemen serta diaudit oleh auditor independen berstandar internasional.
Belajar dari kasus 1MDB, Wawan menekankan perlunya peta jalan investasi yang jelas untuk Danantara, termasuk cetak biru proses bisnis, model investasi berkelanjutan, serta mekanisme pencegahan dan pengawasan korupsi.
Senada dengan Wawan, Peneliti dari Next Policy, Shofie Azzahrah, menilai bahwa kelemahan tata kelola BUMN yang masih sarat dengan korupsi menjadi tantangan besar bagi Danantara. Ia menyoroti bahwa pengangkatan direksi dan komisaris yang bersifat politis sering kali membuat BUMN dikelola oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi yang memadai.
“Agar Danantara tak mengalami nasib serupa 1MDB, Danantara harusnya independen dari intervensi politik dengan mekanisme tata kelola yang ketat,” tutur Shofie.
Dalam peluncuran Danantara, Presiden Prabowo memastikan bahwa lembaga ini akan diawasi dengan transparan dan akuntabel. Ia menegaskan bahwa Danantara dapat diaudit oleh siapa saja karena hasil investasinya diperuntukkan bagi generasi mendatang Indonesia.
“Untuk itu, [Danantara] harus dikelola dengan sebaik-baiknya, dengan sangat hati-hati, dengan sangat transparan, dengan saling mengawasi," ucapnya.
“[Danantara] harus bisa diaudit setiap saat oleh siapapun. Karena ini, sekali lagi, adalah milik anak dan cucu kita, milik generasi penerus bangsa Indonesia," imbuhnya.
0 comments:
Post a Comment